Search This Blog

Kisah Punah Tenun Gorontalo di Tengah Riuh Rendah Dunia Mode

Jakarta, CNN Indonesia -- Bak mutiara tersembunyi, eksistensi cantiknya tenun Gorontalo 'terkubur' dalam gegap gempita industri mode. Bahkan, hanya sedikit masyarakat Gorontalo yang tahu dan ingat bahwa daerahnya pernah memiliki tenun khas yang kini nyaris punah.

Yacob Payu mengenang sang ibu, Saidah Puluhulawa, sang penenun terakhir di Desa Barakati, Kabupaten Gorontalo, yang telah pergi meninggalkannya sejak 2013 lalu. "Bahkan mungkin (penenun terakhir) di Gorontalo," katanya dalam diskusi bertajuk "Kisah dan Koleksi Tenun Gorontalo" di Kota Gorontalo, melansir ANTARA.

Beberapa lembar kain tua terpampang di hadapan Yacob. Kain itu adalah hasil tenun Saidah yang tersisa, berikut alat titinggola (sebutan alat pemintal bagi masyarakat Gorontalo).


Saat Jepang masih menjajah Indonesia, rata-rata perempuan di Gorontalo menenun sendiri kain untuk pelindung tubuhnya. Satu lembar kain bisa memakan waktu sekitar satu hingga dua bulan, mulai dari proses memintal kapas, membuat benang, mewarnai, hingga menenun.

"Kata ibu, siapa yang tidak menenun pada masa itu, pasti dia telanjang. Jadi, mau tidak mau, harus menenun," kata Yacob.

Tenun yang dibuat umumnya berupa pakaian, sarung, sajadah, taplak meja, dan kain untuk menyelimuti bayi.

Bahan pewarna yang digunakan juga berasal dari alam. Jingga adalah warna yang paling kentara dalam sentuhan tenun Gorontalo.

Warna jingga itu berasal dari walude, serupa tanaman liar yang ditumbuk lalu direbus. Sementara warna cokelat diambil dari kulit pohon bakau, sedangkan kuning menggunakan kunyit.

Hampir punah

I Wayan Sudana dan Ulan Naini adalah dua tenaga pengajar di Universitas Negeri Gorontalo yang pernah meneliti karakteristik tenun tradisional Gorontalo pada 2011 lalu.


Mereka mencari jawaban mengapa tenun Gorontalo tidak berkembang. Saidah, kata Ulan, adalah satu-satunya narasumber yang dimilikinya.

Permasalahan terletak pada bahan baku kapas. Populasi tanaman kapas yang terus berkurang membuat perempuan Gorontalo tak lagi menenun. "Bahkan, satu-satunya pohon kapas di Desa Barakati itu ada di halaman rumah Ibu Saidah," kata Ulan.

Kurangnya bahan baku kapas ini sesungguhnya bisa diatasi dengan upaya menyediakan pasokan dari daerah lain. Selain itu, penggalakkan kembali penanaman kapas juga harus dilakukan.

Tenun Gorontalo adalah salah satu warisan yang patut dipertahankan dan digali potensinya. "Maksud dari pertemuan ini adalah menggali lebih dalam dan kiat-kiat untuk menghidupkan tenun Gorontalo kembali," ujar Ketua Omar Niode Foundation, Amanda Katili, sebagai penggagas diskusi.


Industri mode global kini bernilai ekonomi US$ 2,5 triliun atau 2,5 kali Produk Domestik Bruto (PDB) Indonesia). Sementara jumlah pekerjanya di seluruh dunia mencapai 75 juta orang.

Dua kain tradisional Gorontalo masuk ke dalam industri mode. Mereka adalah karawo dan tenun. Namun, sementara karawo berkembang dan mendunia, tenun malah hampir punah. Karawo sendiri merupakan kain tradisional Gorontalo yang dibuat dengan proses penyulaman.

Wastra Indonesia, sebuah organisasi yang fokus pada wastra fine textile yang dibuat dengan kearifan lokal, pernah menekankan bahwa karya tenun sebagai simbol tradisi keluarga ada di berbagai penjuru Indonesia. Artinya, dunia mode harus mempertimbangkan perempuan sebagai artisan dan kearifan lokal yang hidup di dalamnya.

Padahal, salah satu cara merawat Bumi adalah dengan menggalakkan busana ramah lingkungan yang sarat dengan kearifan lokal. (asr/chs)

Let's block ads! (Why?)


October 31, 2018 at 03:34PM
via CNN Indonesia https://ift.tt/2Oex2cU
RSS Feed

If New feed item from http://ftr.fivefilters.org/makefulltextfeed.php?url=https%3A%2F%2Fwww.cnnindonesia.com%2Frss&max=3, then Send me an em


Unsubscribe from these notifications or sign in to manage your Email Applets.

IFTTT


Bagikan Berita Ini

0 Response to "Kisah Punah Tenun Gorontalo di Tengah Riuh Rendah Dunia Mode"

Post a Comment

Powered by Blogger.